Transformasi Digital dan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia

FOTO: Transformasi Digital dan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia, diolah. 

Di era ketika algoritma mengatur arah ekonomi dan teknologi menjadi ukuran kemajuan, sistem keuangan syariah Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mendasar. apakah ia siap bersaing di dunia digital tanpa kehilangan ruh etik dan keadilan yang menjadi dasarnya?. Transformasi digital kini bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan yang menentukan masa depan ekonomi umat. Namun di balik gegap gempita inovasi, ada pertarungan senyap antara nilai dan efisiensi, antara keberkahan dan kecepatan.

Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan terus mendorong percepatan digitalisasi ekosistem keuangan syariah. Fintech syariah, digital banking, hingga sertifikasi halal berbasis daring menjadi bagian dari agenda besar menuju Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Data OJK menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2025, aset keuangan syariah nasional mencapai Rp2.972,94 triliun, tumbuh 8,21 persen secara tahunan dengan pangsa pasar 11,47 persen. Pertumbuhan ini tidak hanya angka, tetapi sinyal bahwa sistem syariah mulai menemukan bentuknya di tengah arus digital global.

Namun, seperti semua proses transformasi besar, perubahan ini tidak bebas dari paradoks. Digitalisasi memang mempercepat akses dan efisiensi, tetapi tidak serta merta menjamin inklusivitas. Masih banyak masyarakat di pelosok yang belum tersentuh layanan keuangan digital karena minim literasi dan infrastruktur. Di sisi lain, muncul fenomena fintech syariah yang beroperasi dengan semangat inovasi tinggi, tetapi belum sepenuhnya patuh terhadap prinsip syariah. Di sinilah letak tantangan utama: bagaimana memastikan bahwa teknologi tidak hanya menjadi instrumen ekonomi, tetapi juga wadah nilai dan moral.

Indonesia Islamic Finance Summit_ (IIFS) 2025 di Surabaya menegaskan hal ini. Para pemangku kebijakan menyoroti tiga kunci utama masa depan keuangan syariah; ketersediaan produk, kemudahan akses, dan peningkatan literasi. Inklusi digital tanpa literasi hanya akan memperluas jurang pemahaman antara mereka yang paham teknologi dan yang tertinggal secara digital. Karena itu, digitalisasi keuangan syariah harus dibarengi dengan pendidikan, pengawasan, dan tata kelola yang kuat agar tidak kehilangan arah dalam labirin teknologi yang serba cepat.

Keuangan syariah tidak boleh kehilangan jati dirinya di tengah digitalisasi. Ia bukan sekadar sistem transaksi tanpa riba, tetapi cermin dari nilai keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan keberkahan. Ketika fintech syariah membantu UMKM halal bertahan di tengah kompetisi global, di situlah makna sejati transformasi digital. bukan sekadar mengejar efisiensi, tetapi menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat.

Digitalisasi bukan akhir perjalanan, melainkan awal dari pembuktian, bahwa ekonomi syariah mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan prinsip. Jika arah ini dijaga, maka Indonesia bukan hanya akan menjadi pusat ekonomi syariah dunia, tetapi juga pelopor ekonomi digital yang berlandaskan nilai kemanusiaan dan spiritualitas.


Referensi :

  1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2025). Kinerja Industri Jasa Keuangan Syariah Tumbuh Positif. Diakses dari https://www.wip.ojk.go.id
  2. OJK Portal. (2025). Indonesia Islamic Finance Summit 2025: Penguatan Digitalisasi Ekosistem Keuangan Syariah.
  3. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). (2025). Laporan Tahunan KNEKS 2025.
  4. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Syariah Nasional 2025.
  5. CNBC Indonesia. (2025). Digitalisasi dan Pertumbuhan Keuangan Syariah Jadi Fokus Ekonomi Nasional 2025.
  6. Bank Indonesia. (2025). Statistik Perbankan Syariah, Juni 2025.