Kemilau yang Tak Tersentuh: Kenaikan Emas dan Ketimpangan yang Kian Menganga
![]() |
| FOTO: Kemilau yang Tak Tersentuh: Kenaikan Emas dan Ketimpangan yang Kian Menganga |
Kenaikan harga emas dunia yang kini menembus angka sekitar US$4.100 per ounce menjadi salah satu fenomena paling menarik di penghujung tahun 2025. Di pasar domestik, emas batangan ANTAM melonjak sekitar Rp43.000 per gram hanya dalam satu hari, mengikuti gejolak pasar global yang dipicu oleh pelemahan dolar Amerika serta ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve. Sekilas, kabar ini tampak menggembirakan, seolah menjadi pertanda pulihnya minat investasi. Namun di balik angka-angka itu, tersimpan realitas yang lebih kompleks, tidak semua orang bisa menikmati kemilau emas yang kini semakin tak tersentuh.
Emas, sejak lama dikenal sebagai simbol ketenangan di tengah badai, kini kembali menjadi pelarian ketika dunia goyah. Namun semakin tinggi harga emas, semakin jelas pula jurang yang terbentang antara mereka yang mampu memanfaatkannya dan mereka yang sekadar menyaksikan dari kejauhan. Bagi investor besar, lonjakan harga ini adalah peluang bagi masyarakat kecil, ia menjadi pengingat pahit tentang betapa rapuhnya perlindungan ekonomi yang mereka miliki. Ketika logam mulia berubah menjadi cermin ketimpangan, kita dihadapkan pada ironi yang tak mudah diabaikan, kekayaan satu pihak tumbuh dari kecemasan pihak lain.
Kenaikan harga emas bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan juga potret psikologi sosial. Orang membeli emas bukan semata karena yakin akan masa depan, tetapi karena takut akan ketidakpastian. Ketakutan itu kini menjadi komoditas baru diperdagangkan di pasar global, diprediksi oleh algoritma, dan dirayakan oleh mereka yang sudah terlanjur aman di puncak piramida finansial. Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh rasa cemas, emas berubah menjadi simbol ilusi kemakmuran. Nilainya naik bukan karena produktivitas meningkat, tetapi karena kegelisahan manusia yang tak berkesudahan terhadap masa depan yang tidak pasti.
Di Indonesia, dampak kenaikan harga emas terasa berbeda di tiap lapisan masyarakat. Bagi sebagian kecil orang, kenaikan ini mempertebal portofolio investasi. Namun bagi mayoritas rakyat yang mencoba menabung dalam bentuk emas, lonjakan harga justru membuat harapan itu menjauh. Satu gram emas yang dulu terjangkau kini menjadi barang mewah. Tabungan masa depan berubah menjadi mimpi mahal. Instrumen perlindungan nilai yang dulu inklusif kini menjelma menjadi simbol eksklusivitas baru di tengah ketimpangan sosial yang kian menajam. Pemerintah memang tidak mengendalikan harga emas secara langsung, tetapi membiarkan masyarakat kecil berjuang sendiri menghadapi fluktuasi pasar berarti mengabaikan aspek keadilan ekonomi yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan.
Kenyataan ini seharusnya menjadi peringatan bagi para pengambil kebijakan bahwa stabilitas makro ekonomi tidak cukup jika tidak disertai perlindungan mikro bagi masyarakat. Diperlukan kebijakan yang membuka akses terhadap instrumen lindung nilai bagi kelompok berpendapatan rendah, seperti program tabungan mikro berbasis emas atau edukasi keuangan yang merata. Selain itu, penguatan lembaga keuangan syariah dapat menjadi alternatif agar emas tidak hanya menjadi alat spekulasi, tetapi juga sarana ekonomi yang berkeadilan.
Pada akhirnya, kenaikan harga emas ini bukan sekadar kisah tentang pasar dan investasi, melainkan kisah tentang manusia, tentang rasa takut, harapan, dan kesenjangan yang semakin melebar. Di tengah gemerlapnya angka, ada jutaan orang yang hanya bisa menatap dari jauh, terlalu miskin untuk membeli, namun terlalu khawatir untuk diam. Kemilau emas itu begitu terang, tetapi tidak semua tangan dapat meraihnya. Dan di sanalah letak persoalannya, ketika sesuatu yang berkilau bagi sebagian orang justru menegaskan kegelapan bagi yang lain.
